KARTINI (Kuningan) — Di tengah meningkatnya kesadaran publik akan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kabupaten Kuningan menunjukkan langkah nyata dengan mendorong literasi emosional dan kolaborasi lintas sektor. Hal ini tercermin dari pelatihan manajemen dan penanganan kasus yang digelar pada Selasa (17/6/2025) di Aula Kantor BJB Cabang Kuningan, menghadirkan berbagai pihak strategis dari guru, akademisi, hingga praktisi perlindungan anak.
Kegiatan ini diinisiasi oleh UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di bawah naungan Dinas PPKBP3A Kabupaten Kuningan. Namun yang menjadi sorotan bukan sekadar kehadiran institusi, melainkan keterlibatan aktif masyarakat dalam membangun jejaring kepedulian sosial.

“Kita harus mulai dari hal mendasar: bagaimana memahami dan mengelola emosi, karena sering kali kekerasan berasal dari ketidakmampuan mengendalikan stres dan amarah,” tegas Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si. Ia menyampaikan hal ini bukan semata sebagai pemimpin daerah, tetapi sebagai seorang ayah yang menyaksikan sendiri dampak luka batin pada anak akibat kekerasan domestik.
Bupati menceritakan kisah menyentuh tentang seorang anak yang dipukul oleh ayahnya hanya karena mencoret mobil baru. Peristiwa tersebut bukan terjadi di Kuningan, namun relevansinya menggambarkan bahwa kekerasan seringkali muncul dari ketidaksiapan emosional orang dewasa, bukan dari niat jahat yang disengaja.
Dalam pelatihan yang menghadirkan narasumber dari kalangan psikiater dan psikolog, peserta tidak hanya dibekali teknik penanganan kasus, tetapi juga pemahaman mendalam tentang akar sosial dan psikologis kekerasan. “Literasi emosi bukan sekadar pelajaran sekolah, ini bekal hidup. Dan kita semua—orang tua, guru, tetangga—punya peran mengajarkannya,” ujar Psikolog Sri Niprianti, salah satu pemateri.

Program Kusapa (Sahabat Perlindungan Perempuan dan Anak) pun menjadi titik balik dalam menguak kasus-kasus tersembunyi. Sejak program ini bergulir, data kasus justru meningkat. Namun bagi Kepala UPTD PPA Kuningan, dr. Yanuar Firdaus Sukardi, M.Kes., hal ini merupakan sinyal positif, “Kasus bertambah bukan berarti kekerasan meningkat, tapi karena korban mulai berani bersuara.”
Selama periode Januari–Mei 2025 saja, tercatat 67 kasus kekerasan terhadap anak dan 26 terhadap perempuan. Jika ditarik sejak tahun 2022, ratusan kasus telah ditangani. Peran guru BK sangat disorot dalam pelatihan ini. Mereka adalah garda terdepan yang kerap pertama kali mengetahui tanda-tanda kekerasan. “Kami tidak cukup hanya tahu prosedur pelaporan. Yang kami butuhkan adalah kepekaan dan keberanian bertindak,” ujar salah satu guru peserta pelatihan.
Selain isu kekerasan fisik dan psikologis, pelatihan juga menyinggung bahaya lingkungeksklusif di dunia pendidikan, kematangan mental dalam pernikahan muda, hingga meningkatnya paparan informasi yang membingungkan identitas seksual anak.
Di akhir kegiatan, Bupati Dian menekankan bahwa perlindungan perempuan dan anak tidak boleh hanya dibebankan pada pemerintah. “Ini soal budaya. Budaya kita harus bergeser: dari membiarkan menjadi melindungi, dari diam menjadi peduli,” tegasnya.
Dengan kepemimpinan baru di DPPKBP3A yang kini dipegang oleh Deni, masyarakat Kuningan menaruh harapan besar pada pendekatan yang lebih menyentuh akar permasalahan. Seperti kata Bupati, “Ini bukan hanya tugas dinas, ini adalah tugas kita sebagai manusia.” (vr)