KARTINI (Kuningan)— Di tengah ketidakpastian iklim dan mahalnya biaya produksi pertanian, para petani di Dusun Kliwon, Desa Kutaraja, Kecamatan Maleber, menemukan secercah harapan. Selasa (10/6), mereka tidak hanya menanam padi varietas unggul Padjadjaran secara serentak, tetapi juga menanam harapan baru melalui teknologi pertanian yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Kelompok Tani Himtaka Makmur menjadi pelaksana utama aksi tanam ini. Namun yang menarik, bukan hanya proses tanamnya, melainkan semangat dan harapan yang mereka gantungkan pada dua pendekatan baru: sistem tanam Salibu dan penggunaan pupuk organik.
“Dulu kami selalu tanam ulang dari awal setiap musim. Sekarang, katanya cukup sekali tanam, nanti bisa tumbuh lagi dari bekas batang yang dipotong. Kalau benar, ini bisa menghemat banyak,” kata Pak Maman (52), salah satu petani yang terlibat dalam kegiatan tersebut.

Sistem Salibu, yang dikenalkan oleh Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Diskatan), memanfaatkan tunas baru dari batang padi yang masih hidup setelah panen. Dengan cara ini, petani tidak perlu menanam ulang, menghemat benih, tenaga, dan biaya—faktor yang selama ini menjadi beban besar.
“Kalau hasilnya bagus, mungkin kami bisa ubah cara tanam selama ini. Apalagi kalau pakai pupuk organik. Tanah di sini sudah lama capek karena pupuk kimia,” ujar Ibu Rumiati (45), anggota kelompok tani perempuan di desa itu.
Kegiatan ini sekaligus menjadi ladang uji coba dua pendekatan pertanian yang selama ini jarang diterapkan secara menyeluruh: sistem tanam Salibu dan perbandingan penggunaan pupuk organik versus pupuk kimia. Para petani di Dusun Kliwon akan melihat langsung hasil nyatanya saat panen nanti.
“Kami ingin lihat mana yang lebih baik, bukan hanya dari hasil panen, tapi juga dari rasa, daya tahan, dan biaya yang dikeluarkan. Kalau organik hasilnya bagus, kami mau pindah ke sana,” ujar Pak Ujang, Ketua Kelompok Tani Himtaka Makmur.
Bantuan benih dari Pemerintah Kabupaten Kuningan memang menjadi pendorong awal kegiatan ini. Namun, di lapangan, yang paling menonjol adalah semangat gotong royong antarwarga. Mereka bahu membahu menanam di sawah, bukan sekadar karena program pemerintah, tetapi karena ada harapan baru untuk memperbaiki nasib pertanian mereka sendiri.
Turunnya Kepala Diskatan, Dr. Wahyu Hidayah, M.Si., ke sawah memang memberi motivasi tersendiri. Namun bagi para petani, yang lebih penting adalah keberlanjutan. Apakah pendampingan ini akan terus berjalan? Apakah teknologi ini benar-benar bisa diterapkan dalam kondisi mereka yang terbatas?
“Satu kali panen bagus belum cukup. Kami ingin tahu bagaimana musim-musim berikutnya. Tapi hari ini, kami mulai dengan semangat,” tutur Pak Maman sambil menancapkan bibit padi ke lumpur basah.
Di lahan basah yang selama ini menjadi saksi bisu perjuangan petani, tumbuh benih baru: bukan hanya padi, tapi juga harapan. Harapan bahwa dengan ilmu baru, pendampingan yang konsisten, dan keberanian untuk berubah, pertanian di desa bisa kembali menjadi sandaran hidup yang layak. (vr)