Vera Verawati
Berhambur warna-warni di langit, pekik takbir menggema di seantero jagat. Suaranya meluruhkan segala ego atas hidup yang dipinjamkan. Namun dengung berkabung menebar di angkasa serupa mendung yang menutup berpasang-pasang mata, basah oleh duka kehilangan.
Di balik pintu, tubuh-tubuh mungil itu bertanya-tanya, mengapa raga ayah diam membisu, jasad terbalut kain putih saja. Bukankah ayah sudah berjanji merayakan Hari Raya dengan suka cita dan pesta bersama sanak saudara serta pesta kembang api yang meriah.
Badai itu menghentak menggiring seluruh kesadaran, akar bersandar runtuh keseluruhan. Meninggalkan perih tiada terperi, rasa tak mampu membuka mata menatap dunia. Bagai Sibuta tanpa tongkat, Seperti Situli tanpa isyarat. Gelap, sekarat, kiamat.
Takbir terus menggema, suarakan sisa-sisa harap dan nyalakan keyakinan atas doa-doa yatim. Tentang langit redup sesaat biarkan saja, agar hati belajar untuk menguatkan atas ikhlasnya pergi setengah jiwa ini. Tidak perlu mengaduh, mengeluh karena diri sejatinya tangguh.
Selamat jalan kekasih, walau separuhnya patah berkeping. Kedua kaki ini akan terus berjalan mendampingi tiga lilin kita, menemaninya bertumbuh meski diseparuh jalan tertatih terseok-seok. Tapi Cinta-Nya tidak akan membiarkan padam tanpa namamu dibelakangnya.
Kuningan, 1 Syawal 1446 H