KARTINI (Majalengka) – “Jika kau fikir perpisahan itu bagian dari takdir. Dan jika kau fikir perpisahan adalah jalan yang terbaik. Kau lupa bahwa takdir semacam itu sangat menyakitkan dan tidak bisa sembuh. Kecuali hilang ingatan. Tuhan Kasihanilah kami.” (Ki. Pandita)
Hiasan pohon natal menggelinding jatuh terhempas angin yang menyusup lewat kaca jendela. Kotak kado yang semuanya kosong, sebagi pemanis ruangan. Lampu-lampu mungil bergantian berkedip menyala. Katanya itu seperti iman seseorang, kadang menyala dan kadang mati. Saat semuanya terjadi, kau ada di mana?
Pagi menyingsing, kantuk menusuk-nusuk kedua mata. Suster Dina menyisir rambutnya yang basah sebahu sambil berusaha mengeringkannya dengan segera. Jam dinding di ruang tamu yang sudah lama mati, belum diperbaikinya. lima belas tahun menemani menempel di situ.
Waktu tidak berhenti hanya karena itu. Dikenakannya seragam perawat dibalut jaket wana coklat muda lusuh. Segelas teh manis tubruk diseduhnya sebagai upaya untuk tetap tegar. Beberapa hari ini tubuh terasa meriang demam. Setidaknya, semua kesibukan dan pekerjaan bisa membuat persoalan terlupakan sejenak.
Berangkat pagi, pulang malam atau pergi sore, pulang pagi. Lelaki mana yang sudi menemani. Suaminya sudah lama pergi kawin dengan perempuan lain. Sebuah perpisahan, karamnya perahu saat diterjang badai. Tapi itu pilihan terbaik, katanya. Bagaimana mungkin pilihan untuk hidup bersama disebut pilihan terbaik?
Kemudian hari perpisahan juga disebut sebagai pilihan terbaik? Di awal ditakdirkan untuk bersama, dalam perjalanan ditakdirkan untuk berpisah. Atau sebenarnya tidak ada yang bernama takdir? Hanya buatan manusia untuk membenarkan egonya. Becak langganan sudah membawanya pergi bersama debu.
Di sana, sebetulnya juga beberapa hati mulai mendekati bagaikan bayangan yang diam mengamati. Tapi hati yang kecewa selalu bisa mencari alasan untuk mengelak dari riuh gerimis yang membawa pertanyaan. Bukankah sendiri lebih baik ketimbang tersiksa dalam ruang kubus yang beterbangan? Tuntutan untuk tidak kembali gagal, terdengar sangat menusuk.
Takdir merupakan sekumpulan penyesalan yang bernilai. Sebab di situ ada sekeping harapan tentang hari esok yang entah bagaimana rupanya. Ada yang disebut pengorbanan yang penuh kebisuan. Namun hati perempuan bukan batu, tapi bisa menjadi fosil.
Karena keputusan hari ini, bisa saja mengubah takdir yang sedang berjalan. Bahkan sekalipun sudah berusaha keras untuk berhati-hati menjaga rasa dan logika. Selalu ada ketakutan supaya tidak mengulangi kesalahan di masa lalu, dan berusaha bangkit. Ketakutan yang sama, yaitu bagaimana keluar dari situ. Tidak mudah, sangat tidak mudah, harus hati-hati.

Suster Dina, melangkah masuk ke ruangan UGD tempatnya bekerja. Untuk mengobati yang sakit dan terluka. Mungkin juga untuk mengobati dirinya. Setidaknya begitu. Seorang perwira polisi sering menggodanya. Menyegarkan kembali kelopak bunga kertas warna unggu. Menyiraminya dengan harapan baru. Mulai belajar lagi untuk tersenyum pada dunia. Kembali berdandan dan genit berjalan.
Lupa pada takdir kemarin, lupa pada hujan semalam. Daun-daun terlihat hijau, dan awan terlihat indah. Berteduh pada satu payung berdua, sambil menunggu matahari surut terbenam. Sama-sama menatap dan menghitung berapa banyak motor dan mobil yang lewat di seberang sana. Setidaknya saling genggam berlindung dari cipratan genangan yang sesekali terhempas roda.
Menakjubkan, karena seribu tawa merekah saat seluruh tubuh basah kuyup karenanya. Di rumah kontrakan kecil, seharga 450 ribu perbulan, mereka berbagi kesunyian yang sudah lama tertahan. Seperti bunyi puisi roman yang selalu memiliki dua wajah, rasa manis dan tragedi. Siapa yang ingin kehancuran berulang-ulang? Itu menyakitkan, sangat menyakitkan.
Ketika seorang Perempuan bangkit dari kegagalan, dan dihancurkan kembali oleh takdir. Lebur tidak berbentuk, seperti pecahan beling yang harus digenggam erat. Jadi apa kemudian? Ketika harapan yang baru, kembali padam. Sebab tidak ada orang tua lelaki yang sudi merestui anaknya menikahi seorang janda beranak satu.
Atas nama masa depan dan nama baik keluarga tentunya. Kamu pasti mengerti. Dan dia lebih memilih taat kepada otoritas pilihan orang tuanya. Tunduk kepada orang tua, bisakah disebut takdir? Apakah takdir berhubungan dengan dosa?
Lima malam berlalu dan tubuhnya masih demam menggigil, terpaksa terbaring di kamar rumah sakit. Suster Dina, terkapar tidak berdaya, Ia merasa kalah dan menyerah sudah. Nafasnya berat sesak, kepala berputar-putar dikelilingi kunang kunang, dan kedip matanya semakin melankolis. Tapi tidak sepatah kata pun bisa terucapkan.
Kawan-kawannya sesama perawat hanya bisa saling menjaga selang infuse dan nebu. Apa bisa dikatakan sebagai penyemangat jiwa, karena mereka pun sama terjebaknya. Berusaha menyembuhkan orang-orang, dengan jiwa yang juga sedang meradang luka.
Inikah jalan Nasib, yang disebut takdir? Katanya takdir bisa diubah? Siapa bisa? Dalam lunglai, rosrio masih tergantung lunglai pada jemari. Tuhan kasihanilah kami.
“Tidak kau terima saja cintanya”? Tanya seorang Suster yang duduk menemani.
“Dia……. Sulit, masih sulit. Dia berbeda keyakinan agamanya. Siapa yang harus mengalah?”
“Tapi dia cinta? Sayang dan perhatian?”
“Ya….Tetapi entahlah. Mungkin semua lelaki seperti itu pada awalnya.” Dihuapnya sepotong pepaya.
“Sudah Kau tanya, dia serius atau tidak padamu?”
“Sulit, masih sulit. Itu tidak mungkin bagi kami berdua.”

***
Lampu pohon natal berkedip merah, kuning dan violet. Di rumah, Julia selalu menunggu kepulangan ibunya dari tugas rumah sakit. Kebencian mulai merayap tumbuh, sudah lama. Akibat perceraian kedua orang tuanya di masa lalu.
Ada korban dari sebuah perpisahan, sekalipun itu adalah pilihan yang terbaik. Rasa lapar dan dahaga berubah menjadi pemberontakan dan kemarahan. Masihkah ini disebut takdir? Julia, diam-diam mulai belajar merokok sepulang sekolah. Ditemani anak-anak gadis sebaya lainnya, berbagi ceria dan berbagi hembusan luka yang belum bisa difahami. Sebagian bahkan mulai mencoba mengenal cinta. Sebab di rumah tidak ditemukan lagi pelukan hangat. Di teras-teras berdebu dicarinya itu. Salahkah?
Sayup terdengar lagu mengalun dari rumah tetangga: “Silent night, holly night. All is calm, all is bright.” Ya, setiap malam merupakan malam yang penuh kesunyian. Bukan hanya malam ini saja, malam kemarin pun sama. Bukan malam tahun ini saja, tahun kemarin pun begitu.
Semua malam, adalah malam yang sunyi senyap. Rumah selalu sunyi, sekali pun ada di sana orang-orang duduk, tetapi tetap terasa sunyi. Tetapi malam Natal, lebih terasa sunyi di hati. Sunyi sekali. Tidak ada bunyi yang paling menyayat-nyayat, selain bunyi sunyi.
Julia terbaring sendiri dalam ruang kamar yang hanya dua kali dua setengan meter besarnya. Ditatapnya langit-langit kamar yang redup. Sembunyi-sembunyi dikeluarkannya rokok sebatang dari kantong kudi yang tergantung di kursi. Sebentar lagi natal datang, sebentar lagi bunyi petasan tahun baru bergemuruh di lagit.
Bapaknya pergi kawin lagi, tidak di sini. Dan ia sangat rindu masa kecilnya dalam pelukan. Rindu berjalan bergandengan tangan. Rindu didongengkan saat akan tertidur malam. Rindu tetaplah rindu, tidak pernah berubah menjadi kebencian. Tetapi harus ada yang disalahkan. Ya, itu pasti kesalahan ibunya, sehingga jadi begini. Julia, benci ibunya.
Rokok sebatang tidak jadi dinyalakan, karena tidak ada api dalam jiwanya. Tahun lalu ia merayakan natal sendiri. Tahun lalu, ia merayakan pergantian tahun, juga sendiri. Kau pasti tahu rasanya sendiri. Lalu menetes tiada henti air matanya. Rokok ditangan terjatuh, Julia sembunyikan wajahnya pada bantal lusuh. Salib di dinding kamar, tidak berbicara sepatah kata pun. Mengapa malam natal begitu sunyi? Lalu ia berdoa dalam tangisnya:”Tuhan kasihanilah kami.”
Desember 2024 (Adventus II)
Untuk: Dina dan Julia
Bude dan Pakde