Menggenggam Hancur Melepaskan Lebur

Roman

Oleh Vera Verawati

Pada titik bergaris seru, anak panah empat penjuru angin. Mematung hati pada pilihan yang seharusnya sejak atma belum benar-benar jatuh di sajak asmaraloka Sang Dealova. Telah longgar genggaman, tawar luka sebelum benar-benar terkapar.

Sepertinya waktu asyik memainkan ego dan emosi, dilambung diri ilusi. Bingkai mimpi dengan seutas pita warna abu-abu, bukan putih atau hitam tegas atas ketidakmungkinan bersama. Cincin di jari manisnya menegur untuk berhenti memiliki.

Terhempas sudah, begitu dalam tertanam. Akankah benar-benar terserabut utuh ingatan tentangmu. Petikan dawai yang sering kau mainkan saat merayu segala prasangka, berulang rekatkan kembali nyeri pun seringkali terperi.

Kini, ketika lara sudah benar-benar memaafkan dan mengikhlaskan. Maka, jangan lagi usik saat jatuhnya hujan menandakan kepasrahan. Atas kesetiaan yang berbilang purnama pernah sangat dipertahankan.

Kepada dendam, telah aku pastikan menjadi jernih tanpa warna seperti embun yang merajuk pada pucuk dahan yang mulai bertunas. Tidak lagi akan kupalingkan wajah untuk terus merindumu. Kompilasi lagu cinta yang begitu kau puja biar kutiupkan pada udara kota buaya.

Semoga tidak satu pun debu memalingkannya di sekuntum melati yang selalu kau sulap menjadi aroma memabukkan. Seperti terapi yang menggiring pada kebutaan sepasang atma lara tercipta berdarah-darah, legam menghitam ketidakpastian.

Sekali ini lagi, akar yang dengan segala pengorbanannya terus memohon. Agar langit rela sertakan hujan demi menumbuhkan dedaun dan bunga-bunga. Maka, tolong longgarkan genggaman.

Lebih baik dari menguatkan dan mengencangkan membuatnya remuk kembali. Walau samar-samar lebur, tapi tidak ada kata terlambat untuk bertumbuh dan berbunga di ruang kosong yang tunggal pemilik-Nya.  

Jangan pernah lagi mengetuk pintu, jika rumah yang dibangun hanya untuk disinggahi bukan dihuni sepasang pengantin senja. Biarkan kosong, tanpa figura potret berdua, setelah potongan kisah itu saling memaafkan.

Kita hanya sekumpulan aksara, yang dipertemukan oleh pena dan musik di antara secangkir kopi dan puisi. Melepaskan dan lupakan, mengijinkan menemukan kebahagiaan. Kesetiaan hanya layak diterima orang-orang dalam cintanya yang sederhana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *