Oleh : Agus Saeful Anwar, M.Pd Dosen Universitas Muhammadiyah Kuningan
KARTINI – Kasus pemerkosaan dan pembunuhan tragis terhadap Ayu Anggraini, siswi SMP berusia 13 tahun di Palembang, menjadi sorotan tajam publik. Ironisnya, pelaku dari tindakan biadab ini adalah remaja seusianya, termasuk pacarnya sendiri berinisial IS, yang melibatkan tiga rekan lain dalam aksi yang keji.
Peristiwa ini tidak hanya menghancurkan satu nyawa tak bersalah, tetapi juga menggambarkan krisis moral yang semakin mengkhawatirkan di kalangan generasi muda.
Kasus ini menggugah kesadaran bahwa pendidikan karakter bukan lagi sekadar pelengkap, tetapi harus menjadi prioritas dalam sistem pendidikan kita. Pendidikan yang hanya berfokus pada pencapaian akademik tanpa memperhatikan pembentukan moral akan menciptakan generasi yang cerdas secara intelektual namun kering secara moral.
Seperti yang diungkapkan oleh Thomas Lickona, seorang pakar pendidikan moral, pendidikan karakter harus dimulai dari keluarga dan diperkuat di sekolah, dengan fokus pada nilai-nilai seperti empati, tanggung jawab, dan rasa hormat.
Mengapa seorang remaja dapat tergelincir menjadi pelaku tindakan keji seperti ini? Salah satu jawabannya adalah lemahnya pendidikan karakter di lingkungan sosial dan sekolah. Menurut survei oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), kasus kekerasan dan penyimpangan perilaku di kalangan remaja semakin meningkat, dan salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan dari keluarga serta minimnya nilai moral yang diajarkan di rumah.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga melibatkan orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak.
Selain itu, era digital saat ini membawa tantangan baru. Akses tanpa batas ke media sosial dan konten negatif sering kali memengaruhi pola pikir dan perilaku remaja. Tanpa bimbingan dan pengawasan yang tepat, anak-anak bisa terpapar kekerasan, pornografi, dan perilaku menyimpang lainnya.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh UNICEF, ditemukan bahwa sekitar 30% remaja di Indonesia berisiko terpapar konten negatif di internet, yang kemudian memengaruhi perkembangan perilaku mereka . Oleh karena itu, literasi digital menjadi aspek penting dalam pendidikan karakter, agar anak-anak mampu menggunakan teknologi dengan bijak dan bertanggung jawab.
Kasus ini juga menuntut pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan pendidikan nasional. Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar, yang menekankan pada pengembangan karakter melalui Profil Pelajar Pancasila, harus dipastikan berjalan dengan baik dan diterapkan di semua sekolah.
Pembelajaran yang berfokus pada penguatan karakter seperti gotong royong, kemandirian, dan rasa keadilan harus benar-benar dilaksanakan dengan serius, bukan hanya formalitas semata. Sebagai masyarakat, kita harus menyadari bahwa pendidikan karakter adalah tanggung jawab bersama.
Sekolah, keluarga, dan lingkungan sekitar harus bersinergi untuk menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas moral yang kuat. Tragedi Ayu Anggraini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa membentuk karakter anak adalah investasi jangka panjang yang akan menentukan masa depan bangsa.
Peristiwa ini juga menjadi pengingat bahwa tindakan tegas dan adil harus diambil terhadap pelaku, tanpa memandang usia. Hukum harus ditegakkan, namun yang lebih penting adalah bagaimana kita mencegah tragedi serupa terulang di masa depan. Pendidikan karakter yang kuat adalah kunci untuk membentuk remaja yang mampu mengendalikan diri, memahami nilai-nilai kemanusiaan, dan menjadi individu yang bertanggung jawab. **