
(Ki. Pandita)
“Takdir itu berisi dua hal: menolak atau menerima. Dan keduanya benar.”
Matahari semakin tinggi. Bersyukurlah masih ada angin yang sudi mampir memberi sejuk walau sebentar. Pohon-pohon dipinggiran jalan terbalut debu, berdiri kering. Sebagian orang tidak saling sapa, sebagian lagi larut dalam cerita. Yang lain tidak peduli, hanya menjalani saja, tanpa banyak bertanya atau menunda.
Selembar uang dua puluh ribu dirogohnya dari saku. Setengah hari berjualan asongan dalam bus Luragung, merupakan upaya menyambung perut. Dengan gopoh pincang, akhirnya lelaki itu turun dari bus dan berlari menuju bus yang lain untuk kembali mengasong. Sudah berapa banyak bus? Inikah takdir? Ketidakberdayaan membuat seseorang harus berlari dari satu tempat ke tempat yang lain. Apakah takdir mengharuskan untuk mengejar dan memohon?
“Kacang, kacang, kacaaaang. Kua, kua dingin, mijon, mijooooon.”
Berulang mantra itu diteriakan, dalam bus Luragung yang sedang menepi di Kopo Cikampek. Di persimpangan jalan, seperti takdir yang membawa setiap orang pada Keputusan. Berharap ada kehidupan yang lebih baik. Entah di sini atau di sana. Terus berjalan atau putar balik. Inikah takdir?
Memiliki trayek dan rutenya sendiri untuk sebuah tujuan. Bus yang lain, memiliki trayek dan tujuan henti yang berbeda.
Di ujung hari yang lain, tubuh lelaki pincang itu limbung terhuyung sehingga harus rebah di warung dekat pohon kersem yang rindang. Matanya penuh kunang kunang beterbangan. Tulang-tulangnya serasa terpukul pelepah pohon salak. Keringat buntet basahi kaos hitam belel, demam, kepala pusing, mual. Di sakunya hanya ada uang dua puluh ribu.
Baru saja ia diusir oleh kenyataan, Si Ros wanita yang dimimpikannya dalam hening, telah bertunangan. Cincin mungil sudah terselip dijari manis kiri. Pertanda, bahwa waktu telah berhenti dan tak mungkin lagi untuk diperbaiki. Padahal sudah banyak cara untuk memperjuangkannya.
Inikah takdir? Sebegitu kuat dan kerasnya dikejar, tapi tidak juga dimiliki. Ros memang berduri, semakin digenggam semakin menyakiti. Dan saat Ikhlas untuk dilepas, bekas durinya meninggalkan getah luka sehingga jari-jari menjadi sulit mengepal lagi.
Sepulang bekerja, ia menghunjar di amben bambu rumah kontrakan. Mengatur nafas yang masih tersengal di ujung tenggorokan. Dalam dompet lusuhnya terselip buntalan jimat semar mesem dan keris kecil. Seperti para pedagang lainnya, sebagai bekal mengembara. Secarik foto Ros, yang dahulu pernah ia curi dari mading sekolah, ditatapnya lekat.
Laron mulai muncul berkerubung di teras samping kontrakan. Pertanda hujan mulai menunjukan gelagatnya. Gelap berangsur menutup lamunan. Lampu-lampu menyala di tiap sudut, tapi hatinya tetap redup. Sepertinya bulan ini belum bisa melunasi sewa kontrakan. Di sakunya hanya ada uang dua puluh ribu.
Seorang anak gadis belia, berjalan memanggil ayam-ayamnya pulang dari kebun lalu memberinya makan. Lima ekor kambing, yang terikat di halaman depan rumah, disapanya satu persatu dengan kasih sayang lalu dituntunya masuk kandang. Beberapa singkong yang tergeletak dipojok dipungutnya untuk dibakar di kobaran hawu.
Anak satu-satunya pemilik kontrakan. Senyumnya seringan kapas dan suaranya laksana gerimis. Ranum buah manggis bibirnya. Tangannya menggenggam pisau dapur, siap untuk menyisit daun pisang klutuk, untuk pepes ikan jaer pesanan.
Dengan mata sayu sendu sisa air mata, lelaki pincang itu menyapa,“Nisa, kamu mau menikah denganku?”
Beberapa bulan kemudian mereka menikah dirayakan dengan meriah oleh seisi dusun. Itukah yang disebut takdir? Bahkan Ketika kau diam saja, bunga-bungan langsung bermekaran.
Itukah yang disebut takdir? Kau harus melalui banyak luka terlebih dahulu supaya mendapatkan yang terbaik. Inikah takdir? Kau dan aku harus bisa memaafkannya. Dikantongnya hanya ada uang dua puluh ribu.
Untuk Bude
terima kasih ceritanya Ki Pandita
Sama-sama kang Yudi