Oleh : Atin Martini (Aktivis Muslimah)
KARTINI (Kuningan) – Beberapa waktu lalu, media sosial dihebohkan dengan pemberitaan adanya beberapa produk yang berlabel halal, tetapi mengandung babi. Jelas ini menjadi dilema di tengah masyarakat.
Menurut Direktur LPPOM MUI Muti Arintawati memastikan, bahwa produk tersebut telah dinyatakan lolos uji halal oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sehingga keteledoran itu kemungkinan terjadi di pihak produsen, yang seharusnya menerapkan sistem penjaminan halal secara ketat, bukan sekadar mendapatkan sertifikat halal semata. (tempo.co, 7/5/2025).
Peredaran produk yang mengandung babi bukan pertama kalinya, sebelumnya sudah pernah terjadi pada bulan Maret 2025. Faktanya produk tersebut merupakan jajanan anak-anak yang mudah ditemukan di warung terdekat. Menurut Souvia Rahimah, Dosen Departemen Teknologi Industri Pangan di Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad menyatakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhinya. Misalnya metode dan alat yang digunakan di laboratorium, pengujian standarisasi validasi, dan bisa juga batch produk (sumbernya harus sama).
Tak hanya itu, adapula sistem audit yang tidak tuntas. Sehingga hanya mencapai tahap pengeluaran sertifikat halal, tidak mengaudit sampai hasil produksi, dan akhirnya diedarkan. Inilah yang menjadi celah, mengapa masih banyak produk yang diduga mengandung babi.
Abaikan Halal Haram
Beredarnya produk makanan haram karena mengandung babi adalah bagian kecil dari akibat lemahnya aturan yang diterapkan. Tidak ada jaminan dari negara untuk menjaganya. Itulah sistem ekonomi kapitalisme yang selama ini bercokol di negeri-negeri muslim. Bisnis seperti ini tentu tidak mempedulikan halal haram dalam produknya, karena yang diutamakan adalah keuntungan materi semata. Inilah yang menunjukan adanya asas pemisahan agama dari persoalan dunia.
Akhirnya kejadian temuan beberapa jenis produk makanan yang mengandung babi ini, sungguh sangat miris. Pasalnya, sebagai negeri mayoritas muslim semestinya makanan yang diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat benar-benar dijamin kehalalannya oleh negara. Karena itu menjadi tanggung jawab negara untuk memastikan peredaran makanan yang halal.
Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya:
“Katakanlah, “Aku tidak menemukan dalam wahyu yang telah diwahyukan kepada diriku sesuatu yang diharamkan untuk dimakan oleh seseorang, kecuali makanan itu adalah bangkai, darah yang mengalir dan daging babi (karena sesungguhnya semua itu kotor) atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (TQS al-An’am [6]: 145).
Dampak Buruk Konsumsi Produk Haram
Muslim berkewajiban memperhatikan apa saja yang baik dikonsumsi dan halal. Bukan hanya sekadar memuaskan keinginannya, atau demi memenuhi kebutuhan pokok berupa pangan, tetapi tidak memastikan kehalalan produk. Sebab itu merupakan perwujudan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Muslim wajib bersinergi dalam mencegah adanya peredaran produk makanan haram.
Adapun beberapa dampak buruk akibat mengkonsumsi makanan haram :
Pertama, makanan haram akan menjadi penghalang bagi terkabulnya doa. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.”
Kedua, mengakibatkan hati menjadi gelap dan keras serta kecenderungan untuk berbuat keburukan dan kemaksiatan. Artinya banyak melanggar hukum Allah Swt.
Ketiga, akan merusak amal ibadahnya dan diancam dengan ancaman siksa neraka. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka azab neraka lebih layak bagi dirinya.” (HR ath-Thabarani).
Pada hakikatnya, makanan yang dikonsumsi tidak hanya untuk kesehatan tubuh, tetapi juga membentuk karakter. Ditambah dapat mempengaruhi spiritualitas dan kesehatan akal serta menentukan keberkahan hidup.
Solusi Sistemik
Persoalan makanan halal haram harus diselesaikan secara sistemik, bukan hanya menjamin secara laboratorium, tetapi ada penjagaan ketat dari negara. Nah, itulah sistem Islam yang paripurna, memberikan penyelesaian hingga tuntas berdasarkan aturan Allah Swt.
Hal itu dikarenakan, selama masih menerapkan aturan ekonomi kapitalisme yang mengabaikan hukum halal haram, maka kaum Muslim akan terus menghadapi masalah dalam kehidupannya. Karena tidak berpegang teguh pada syariat. Hanya membuat aturan semaunya saja.
Berbeda dengan Islam sebagai sistem kehidupan yang mengatur semua aspek kehidupan berdasarkan wahyu Allah Swt. Islam akan mengutamakan ketakwaan individu dan kepekaan masyarakat, sehingga seorang penguasa (khalifah) bertanggung jawab penuh atas pemeliharaan urusan umat. Salah satunya, menjamin kehalalan makanan dan minuman adalah bagian dari tanggung jawab negara dalam menjaga agama (hifzh ad-din) dan jiwa (hifzh an-nafs).
Hal ini pernah dilakukan saat kekhalifahan Islam, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra, pernah menolak daging yang berasal dari hewan yang tidak disembelih secara syar’i, kemudian adanya qadi hisbah yang mempunyai otoritas independen untuk mengawasi pasar, menindak secara langsung pedagang yg melanggar syari’ah agar tidak ada penipuan dan kecurangan, termasuk penjualan makanan haram atau kadaluarsa.
Dengan demikian hanya sistem pemerintahan Islam yang bisa menjamin kehalalan bagi seluruh rakyatnya, menerapkan syariah Islam secara total dalam semua aspek kehidupan rakyatnya untuk mewujudkan kehidupan yang penuh keberkahan dan kemuliaan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. ***