Gerakan Pangan Murah Jadi Simbol Ketahanan Sosial di Akar Rumput

Berita Sosial & Ekonomi

KARTINI(Kuningan) – Di tengah naik-turunnya harga pangan menjelang Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Iduladha 2025, masyarakat pedesaan di Kabupaten Kuningan tak lagi hanya menjadi penonton. Mereka kini menjadi bagian dari gerakan perubahan yang nyata, Gerakan Pangan Murah (GPM) Padaringan DIRAHMATI, sebuah program yang menempatkan rakyat sebagai poros utama kebijakan pangan.

Program yang digagas Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (Diskatan) Kabupaten Kuningan ini bukan sekadar pasar murah, melainkan intervensi strategis yang memperkuat daya beli, menumbuhkan optimisme masyarakat, dan membangun ketahanan dari tingkat paling bawah desa.

Dari Lapak ke Harapan, Margasari Menjadi Titik Awal

Di Desa Margasari, Kecamatan Luragung, suasana pagi berubah menjadi pasar penuh harapan. Ratusan warga berkumpul bukan hanya untuk berbelanja, tetapi juga menyaksikan bagaimana negara hadir secara nyata, Senin (26/05/2025)

Kepala Desa Margasari, Asep Suhemi, menyatakan, “Bagi kami, ini bukan sekadar bantuan sembako murah. Ini adalah bentuk keberpihakan pemerintah terhadap desa-desa yang kadang luput dari perhatian. Warga sangat terbantu, terutama dalam menyambut Iduladha.”

Harga-harga yang ditawarkan pun jauh di bawah pasar: beras, telur, minyak goreng, dan bahan pokok lain dijual dengan subsidi. Tak hanya warga yang merasakan manfaat, pelaku UMKM lokal pun turut didorong untuk berpartisipasi dalam pasar rakyat ini.

Harga Boleh Turun, Harga Diri Tetap Naik: Suara dari Ciberung

Di hari berikutnya, Selasa, 27 Mei 2025, giliran Desa Ciberung, Kecamatan Selajambe, menjadi tuan rumah GPM. Di sinilah tampak jelas bahwa intervensi harga bukan semata soal subsidi, tapi tentang menjaga martabat rakyat kecil.

“GPM ini bukan hanya pasar murah, ini tentang keadilan distribusi. Di sini, pemerintah hadir bukan sebagai birokrat, tapi sebagai pelindung,” ujar Dr. Wahyu Hidayah, M.Si., Kepala Diskatan Kuningan.

Banyak warga mengaku bisa menyisihkan uang belanja harian untuk kebutuhan lain, bahkan tabungan kurban. Seorang ibu rumah tangga, Ibu Tati, menuturkan, “Biasanya saya hanya bisa beli setengah liter minyak dan 1 kg beras. Hari ini, saya bisa beli lebih, dan itu sangat berarti.”

GPM Menjadi Momentum Politik Berbasis Pelayanan

Puncak kegiatan dilangsungkan di Desa Windujanten, Kecamatan Kadugede, Rabu, 28 Mei 2025. Suasana meriah bukan hanya karena kehadiran Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si., tetapi karena kelegaan warga menyambut program yang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar mereka.

Dalam sambutannya, Bupati menekankan bahwa keberadaan GPM merupakan bentuk baru politik pelayanan.

“Kita ingin masyarakat merasa dilindungi, bukan hanya diatur. Negara harus hadir, dan hadir secara bermakna. Gerakan ini akan terus kami hidupkan — bukan karena seremonial, tapi karena kebutuhan nyata,” tegasnya.

Ia juga menyampaikan bahwa ketahanan pangan bukan hanya urusan produksi, tetapi soal aksesibilitas dan keterjangkauan.

Bukan Sekadar Program, Tapi Gerakan Politik Berpihak dan Bukti di Lapangan

Dalam catatan Diskatan, hingga menjelang Iduladha ini, total pelaksanaan GPM telah melampaui 116% dari target. Dukungan datang dari berbagai pihak, termasuk Bapanas dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun yang paling penting, menurut Dr. Wahyu, adalah bagaimana masyarakat menerima program ini bukan sebagai “bantuan”, tapi sebagai hak yang dijamin oleh negara.

“Rakyat tidak mengemis, mereka hanya ingin akses yang adil. Dan lewat GPM ini, kami buktikan bahwa negara mampu menjawab itu,” ujarnya lugas.

Dari Desa untuk Indonesia, GPM Sebagai Pilar Ketahanan Sosial

Gerakan Pangan Murah menjadi wajah lain dari pembangunan: yang tidak selalu berbentuk infrastruktur beton, melainkan pondasi sosial yang kuat. Warga merasa dihargai, petani didukung, dan ekonomi desa hidup kembali.

Dengan semangat 100 Hari Kerja Bupati yang mengedepankan pelayanan publik, GPM Padaringan DIRAHMATI telah menjadi narasi baru tentang bagaimana pemerintah daerah membangun dari bawah — dari desa, dari rakyat, dan untuk rakyat.

Seperti yang dikatakan oleh seorang warga Windujanten, Pak Jamal, “Kalau program seperti ini rutin, kami tidak takut lagi soal harga. Kami merasa punya pemerintah yang benar-benar berpihak.” (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *