KARTINI (Kuningan) – Indonesia kembali kehilangan salah satu suluh budaya Nusantara. Pangeran Djatikusumah Maniswara Tedjabuwana Alibassa Kusumah Wijaya Ningrat, atau yang akrab disapa Rama Djatikusuma, wafat dalam usia 93 tahun pada Jumat (16/5/2025) pukul 10.10 WIB.Kepergian sesepuh adat dan budaya Sunda ini menorehkan duka mendalam, khususnya bagi Masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan di Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Sosoknya bukan sekadar tokoh adat, tetapi juga penjaga api spiritualitas leluhur yang terus menyala di tengah modernitas zaman.Sebagai penerus garis keturunan Pangeran Sadewa Madrais—penggagas ajaran Agama Djawa Sunda (ADS)—Rama Djatikusumah menempatkan dirinya sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini. Dalam tutur, sikap, dan ajarannya, ia memadukan nilai-nilai leluhur dengan kedamaian universal: menerima perbedaan, menyatu dengan alam, serta hidup dalam syukur dan keheningan batin.
“Beliau bukan hanya sesepuh, tetapi guru kehidupan, warisan yang beliau tinggalkan bukan harta, melainkan cara hidup,” ujar Juwita Djatikusuma, salah satu putrinya.
Duka yang mendalam juga dirasakan oleh Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, M.Si, yang langsung bertakziah ke Paseban Tri Panca Tunggal pada Jumat malam sepulang dari tugas di Bandung.
“Kita kehilangan tokoh budaya yang selama hidupnya menebarkan nilai-nilai kebaikan dan pelestarian budaya. Semoga almarhum diterima di sisi-Nya,” ucap Bupati Dian saat menyampaikan belasungkawa.
Informasi dari keluarga menyebutkan, jenazah akan dimakamkan pada Minggu, 18 Mei 2025 sebelum pukul 12.00 WIB, di kawasan Curug Go’ong, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur—tanah leluhur yang senantiasa dijaganya.
Warisan Tak Kasatmata
Lebih dari sekadar pemangku adat, Rama Djatikusuma adalah simbol kesinambungan tradisi yang hidup. Ia mengajarkan bahwa budaya bukan benda mati yang ditampilkan saat festival, melainkan nilai hidup yang terus dibawa dalam keseharian.

Dalam pandangannya terhadap Seren Taun, upacara tahunan masyarakat Sunda Wiwitan, ia menekankan bahwa prosesi tersebut bukan semata ritual panen, tapi momentum spiritual untuk menyelaraskan diri dengan alam dan Sang Hyang Kersa—Tuhan yang Mahakuasa.
“Syukur, harmoni, dan ingatan kepada leluhur,” begitu ia menyebutkan tiga pilar dari Seren Taun.
Jejak Leluhur yang Diteruskan
Rama Djatikusumah adalah anak dari Pangeran Tedjabuwana Alibassa dan Ratu Saodah, serta cucu dari Madrais, tokoh sentral gerakan spiritual dan kultural Sunda awal abad ke-20. Sejarah panjang keluarganya adalah narasi tentang keberanian merawat jati diri budaya di tengah tantangan kolonialisme, politik modern, bahkan stigma.
Namun, di tengah segala tantangan itu, Rama Djatikusuma memilih jalan damai: menjadi penenun kembali benang-benang nilai yang nyaris putus, menyulamnya dalam bentuk dialog lintas iman, pendidikan spiritual, dan penguatan komunitas lokal.Bukan Akhir, Tapi KelanjutanMasyarakat adat, budayawan, akademisi, hingga para pemuda penggerak lokal kini memikul tugas berat: menjaga bara yang telah dinyalakan oleh almarhum.
Dalam sunyi Curug Go’ong, tempat Rama Djatikusuma akan dibaringkan, bukan hanya tanah yang menerima jasadnya, melainkan tanah yang akan terus tumbuh dari benih-benih ajarannya.Kepergian beliau bukan sekadar kehilangan, tetapi pengingat—bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu ke mana akarnya tumbuh. (red)