Senja berjelaga, mempertegas ketukan. Wajah rembulan menampakan semburat merah, menghiasi ranum pipinya. Kisah riuh tentang penat bertarung dengan garangnya matahari, biar disimpan di bawah bantal kapuk yang mulai beraroma.
Tidak ada tukar menukar atau transaksi cerita, tetang hari ini, mari dilebur dalam segelas kopi tanpa manisnya aren. Hanya sepotong kalimat penguat atas ucap yang tersebat di atma. Langit masih tampak, walau tidak seterang tadi, saat burung-burung cantik menari di dahan padi.
Kini, biarkan kupu-kupu malam bertebaran. Menabur biji-biji rayuan yang dipunguti mulut yang tersungut drama. Jangan usik, music malam mengalun menembus dinding-dinding lapuk. Kulit-kulit keruh yang tertidur mengkerut di ujung trotoar.
Rasa ingin menabuh kendang paling lantang, lalu teriak perihal kebenaran. Sedang kasih dalam budi usah dikenang. Seperti pepatah, “karena nila setitik rusak susu sebelanga.”
“Mari duduk di sini, Nak,” ujar Nini Anting yang duduk terjuntai di tepi Bintang.
“Kita nikmati sepiring kapur sirih saja, “ lanjutnya dengan mata menerawang
Lantas Ia menceritakan tentang persahabatan Kambing dan Srigala.
“Srigala tetap akan jadi Srigala, tidak bisa berubah jadi kambing bagaimana pun kau mendandaninya,” kata Nenenk Anting seraya terbang dengan karpetnya bertuliskan “Kamuplase”.
Pondok Kata, 15 Mei 2025