BNPT Satukan Penyintas Terorisme dan Eks Napiter dalam Silaturahmi Kebangsaan

Berita Sosial & Ekonomi

KARTINI (Kuningan) – Di tengah sejuknya suasana pegunungan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, sebuah peristiwa penuh makna berlangsung di Hotel Santika pada Selasa (6/5/2025). Dalam momen yang jarang terjadi, para penyintas aksi terorisme dan mitra deradikalisasi—para mantan narapidana kasus terorisme—dipertemukan dalam forum “Silaturahmi Kebangsaan” yang diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Subdirektorat Pemulihan Korban, Direktorat Perlindungan.

Pertemuan ini bukan sekadar ajang tatap muka. Ia menjadi panggung rekonsiliasi, tempat luka lama dihadirkan bukan untuk diungkit, melainkan untuk dipulihkan—bersama.

Pemulihan yang Nyata, Perdamaian yang Dirasakan

Bupati Kuningan, Dr. H. Dian Rachmat Yanuar, dalam sambutannya menyambut hangat inisiatif BNPT yang menjadikan Kuningan sebagai lokasi kegiatan. Ia menyebut acara ini sebagai langkah strategis dalam membangun kesadaran kolektif dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan.

“Perjumpaan antara para korban dan mantan narapidana terorisme bukan hanya menghadirkan harapan, tetapi juga menjadi bukti bahwa jalan menuju pemulihan dan harmoni adalah keniscayaan,” ujar Bupati Dian.

Ia menegaskan pentingnya pendekatan holistik dan berbasis kemanusiaan dalam menangani ekstremisme kekerasan, yang tak cukup diselesaikan dengan pendekatan keamanan semata.

“Kepada para korban, kami sampaikan empati mendalam. Kepada para mantan napiter, kami titipkan harapan: bahwa hijrah menuju kebaikan adalah kontribusi nyata bagi Indonesia,” imbuhnya.

Dari Luka ke Aksi Nyata: Kolaborasi dalam RAN PE

Direktur Perlindungan BNPT, Irjen Pol Imam Margono, dalam paparannya menyampaikan bahwa kegiatan ini sejalan dengan arah kebijakan Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme (RAN PE). Ia menegaskan keberhasilan RAN PE periode 2020–2024 yang berhasil menciptakan situasi “zero attack” di Indonesia.

Kini, BNPT tengah menyusun RAN PE periode 2025–2029, yang semakin menekankan peran strategis pemerintah daerah melalui Rencana Aksi Daerah (RAD).

“Kita juga mengemban mandat baru dari Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan masyarakat yang terdampak aksi terorisme masa lalu mendaftar sebagai penyintas untuk memperoleh haknya melalui BNPT dan LPSK,” jelas Irjen Imam.

Silaturahmi yang Menyatukan: Antara Empati dan Komitmen

Langkah konkret lainnya datang dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Wakil Ketua LPSK, Susilaningtias, SH, MH, menyebut pertemuan ini sebagai jembatan empati dan sarana memperkuat komitmen kebangsaan.

“Perdamaian sejati tidak lahir dari amnesia, tetapi dari keadilan sosial, pengakuan, dan keberanian untuk saling memaafkan,” tegasnya.

Sementara itu, perwakilan dari Polda Jabar, Kombes Pol. Dr. H. Joseph Ananta Pinora, mengingatkan pentingnya kolaborasi lintas elemen bangsa.

“Polri tidak bisa bekerja sendiri. Kita butuh sinergi dengan masyarakat sipil, akademisi, pemerintah daerah, hingga tokoh agama dan adat. Ini kerja bersama untuk menjaga Indonesia tetap inklusif dan damai,” ujarnya.

Ikrar Damai dan Deklarasi Kebangsaan

Salah satu momen paling menyentuh dalam acara ini adalah pembacaan ikrar damai oleh perwakilan penyintas dan mantan napiter, yang kemudian diikuti seluruh hadirin. Tidak sekadar simbolik, ikrar ini menjadi manifestasi komitmen bersama untuk hidup berdampingan dan menolak ekstremisme dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya, pembacaan dan penandatanganan Deklarasi Kebangsaan dilakukan sebagai bentuk komitmen memperkuat ketahanan nasional dan membangun harmoni lintas perbedaan. Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting, di antaranya Irwil Tiga Itwasum Polri Brigjen Pol Heru Koco, Direktur Deradikalisasi BNPT Kombes Pol Iwan Ristianto, serta perwakilan dari Kapolda Jawa Barat, Kapolres Kuningan, dan Densus 88 Antiteror Polri Wilayah Jabar.

Tak ketinggalan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat turut serta, membuktikan bahwa perdamaian adalah kerja kolektif yang menuntut keterlibatan semua pihak.Silaturahmi Kebangsaan di Kuningan menjadi bukti bahwa luka sejarah dapat disembuhkan dengan ruang dialog, empati, dan semangat kebangsaan.

Di ruang yang sama, penyintas dan pelaku masa lalu saling mengakui, saling mendengar, dan bersama menatap masa depan. Indonesia butuh lebih banyak perjumpaan seperti ini—bukan untuk melupakan, melainkan untuk mengingat dengan cara yang menyembuhkan. (vr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *