Ditulis oleh : Vera Verawati
Bicara tentang uporia Hari Raya pasti tidak ada habisnya. Dari aneka hidangan yang terpajang di meja makan, aneka kue yang tersusun di ruang tamu, hingga pernak-pernik amplop lebaran. Seolah setahun hasil kerja keras dituntaskan dalam satu hari saja. Benarkah harus begitu, atau itu hanya kebiasaan sebagian orang yang akhirnya diikuti sebagian besar lainnya.
Jika mampu kenapa tidak, walaupun tidak ada peraturan tertulis yang melarang mengikuti sebuah kebiasaan jika dirasa kebiasaan tersebut dirasa baik (menurut sebagian orang). Akan lain ceritanya jika harus memaksakan diri untuk terlihat sama dengan melakukan hal tersebut, dengan mengorbankan rela berhutang ke sana ke mari demi gengsi agar dianggap mampu atau terlihat sukses di mata orang lain.
Hari Raya Lebaran makna sesungguhnya tentang mensyukuri sebuah kesetaraan karena dengan berpuasa kita ikut merasakan bagaimana sebagian orang ada yang setiap harinya harus menahan lapar dan bertemu makanan layak hanya sehari satu kali atau bahkan lebih dari satu hari baru bertemu makanan. Lulusnya menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, patutlah dirayakan dengan kesyukuran bukan kekufuran nikmat dengan pesta dan foya-foya.
Bukankah masih banyak pemandangan miris tentang anak-anak yang menggadaikan masa kecilnya demi sesuap nasi, para ayah yang harus mengais rejeki dengan seluruh tenaganya yang sudah renta namun tetap dipaksakan bekerja amat keras demi menafkahi keluarga dengan halal. Andai setiap manusai memiliki empati yang baik, tidak ada ketimpangan social di negeri ini.
Tapi atas nama gensi, sebagian rela melakukan berbagai cara hingga hal-hal yang melanggar hukum sekalipun tidak lagi diindahkan. Ketika kesempatan itu di depan mata, hak orang lain pun dirampas tanpa rasa bersalah, lupa bahwa setelah hari ini ada hari esok dan hari pembalasan. Menunduklah sejenak, masih ada tanah yang dipijak yang diatasnya suara-suara tangis dan doa teredam oleh kerja-kerja Ikhlas. (vr)