Cinta Dalam Monolog Sunyi

Roman

Oleh Vera Verawati

Latar itu gelap, deret obor terganti aroma dupa dari empat penjuru rasa. Di pintu masuk, tokoh itu tergopoh-gopoh berjalan di atas kerikil api. Lembaran merah biru tiba-tiba ditebar di atas altar, seperti menyerakan harapan yang meranggas bagai dedaun kering.

Jubah putih hitam berkibar tertiup angin yang diciptakan, agar berhembus keringat lelah,  sisa percintaan yang terkurung dalam mimpi tadi malam. Berulang mendobrak pintu waktu, hendak menembus khayal yang terpenggal. Malang, tak jua hendak jendela terbuka.

Tuhan seperti ingin berlama-lama bercengkrama, membiarkannya bergelut batin dalam pilihan yang pada keduanya ada luka yang dalam. Jika panggung ini masih dengan latar bara, siapkah terbakar demi menembus merah api.

Kemana musik pengiring, kenapa begitu sunyi. Bahkan degup-degup itu seperti ditahan, padahal rasa ingin meledak bedebum tambur. Agar membuncah setiap percikan bagai kembang api di akhir tahun.

Tokoh itu masih tergopoh-gopoh. Kertas merah biru selalu hangus saat bersentuhan dengan kerikil api yang juga membakar telapaknya. Tidak ada darah, tidak juga tulang melepuh. Tubuhnya seperti mengerti bahasa panas nan garang.

Di akhir adegan, dia memilih menyelesaikan peran. Tanpa musik pengiring, tidak juga ada isak tangis atas segala perih yang terinjak-injak oleh pembuktian. Untuk cinta dalam monolog sunyi, seperti apa akhirnya. Tuhan tetap ada bersamanya, mengerti bahasanya, memahami isyaratnya. (vr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *