Senandika Karya Vera Verawati
Rinai ketulusan membasahi rumput-rumput yang lama meminta atas kehadiran Dewi Hujan. Gelegar petir tak menyurutkan dzikir dan harap pada setiap bunyi jatuhnya. Angin yang merajuk seperti mengamuk pun tidak juga meredam dedoa.
Tak terhitung waktu menyusun, tidak berbilang harsa merangkai. Serakan aksara itu dengan sabar dipunguti, memilah vokal dan konsonan. Menata perlahan menjadi mantra bermarga dewa.
Dalam jaring halus jutaan cerita rahasia tersimpan, ribuan kicau keresahan, dan hela atas beban yang kadang dirasa candu tergulung. Mendadak segumpal otak linglung, oleh gambar datar. Kurva naik turun tetiba menjadi garis lurus seperti detak yang tetiba berhenti.
Adakah tabung yang bisa menampung segala warna, selain kanfas dan kuas. Seperti keduanya tanpa cat, walau masih ada pinsil yan mampu menggambarkan hitam dan kusutnya perasaan saat itu.
Sebuah ketukan menyadarkan hati, atas apapun yang digeggam hari ini, akan sirna kapan saja jika dikehendaki-Nya. Ketika jendela terbuka, sepasang mata sembab memandang merah rona wajah mentari.
Sapaan hangatnya menyentak pada segala kesadaran, tidak pernah ada yang hilang hanya berbeda ruang, untuk satu waktu dipertemukan kembali. Berdoalah seperti daun-daun yang terus hijau oleh rimbunnya harap.
Akan ada tempat untuk melabuhkan setiap hal yang terjadi, bahkan tentang putihnya awan-awan yang tersanggul cantik bak gelungan rambut para peri. Menjejaklah, atur kembali langkah dengan menguatkan kedua kaki.
Walau tidak mudah, ada hari-hari esok yang meminta untuk diselesaikan. Pintu waktu tak pernah mau menunggu, bahkan pada sepotong wajah yang sumringah meski lelah pun gundah meraja.
Untukmu,
Jangan berhenti membisikan keyakinan atas Maha Cinta yang tidak pernah tercemar, bahkan oleh dosa-dosa yang berulang terulang. Tapi luruh oleh sujud yang sering tidak khusuk oleh ego dan kekhawatiran akan arti kehilangan. (vr)