Kitab Sakral Karya AR.Affandi : Ketegangan Budaya Dan Mistis Dalam Kehidupan Lokal

Pilihan Seni & Budaya

KARTINI – Kitab Sakral, adalah buku kumpulan cerpen karya AR Affandi pengajar di SMK Negeri 1 Luragung dan pemilik Roemah film Affandi, menyajikan narasi yang menggali sisi budaya lokal Sunda dengan perpaduan mistik dan kontemplasi hidup. Buku ini berisi sepuluh cerpen yang diadaptasi dari skenario film yang ia buat.

Antologi cerpen ini mengajak pembaca masuk ke dalam dunia cerita yang penuh dengan simbolisme dan nuansa spiritual. Melalui kisah-kisah yang menggabungkan tradisi, ketakutan kolektif, dan pergulatan identitas, AR Affandi menghadirkan karya yang kuat dalam unsur budaya dan keindahan bahasa. Buku ini rencananya akan di launching pada pertengahan Desember nanti.
Cerpen dibuka dengan judul “Sakral”. Cerpen ini memikat, dengan latar desa dan ritual kuno yang membawa nuansa mistis dan penuh ketegangan.

Tokoh utama, Asih, menghadapi tekanan masyarakat untuk menjalankan ritual cingcowong demi memanggil hujan. Di sinilah kekuatan cerita terletak: mengungkapkan ketakutan dan tanggung jawab bersama yang tertanam dalam masyarakat tradisional. Keberhasilan AR Affandi menyisipkan elemen budaya lokal dan spiritualitas mendalam membuat cerita ini menjadi favorit banyak pembaca.

Di sisi lain, “Euis Epon” membawa pembaca ke masa konflik DI/TII. Cerpen ini menggambarkan sisi kelam dari pilihan hidup seorang perempuan di masa perang, yang dihadapkan pada trauma dan pengkhianatan. Tokoh Euis, dengan dilema moral yang berat, menjadi sosok sentral yang kuat dan emosional, menciptakan refleksi mendalam tentang keberanian. AR Affandi berhasil menempatkan elemen feminisme dengan nuansa lokal yang kuat, melalui sosok Euis yang perlahan membebaskan dirinya dari cengkeraman patriarki dan tradisi. Dengan bahasa yang puitis namun tetap membumi, Affandi menghadirkan realitas sosial dan sejarah yang sering luput dalam narasi besar perjuangan Indonesia.

Euis Epon bukan sekadar cerita tentang pelarian seorang perempuan, melainkan tentang keberanian mempertahankan martabat di tengah kekacauan. Dalam dunia yang membatasi perempuan, Euis menemukan kekuatannya dalam keheningan dan tindakan kecil yang akhirnya mengubah takdirnya.


“Lawang Saketeng” hadir dengan nuansa horor yang lebih kental, di mana unsur gaib dan dunia mistis mulai lebih terang. Kisah ritual pembukaan pintu mistis yang dilakukan Ki Sarna bersama Pak Karta mengikat pembaca dalam ketegangan dan misteri. Di sini, karakter sinden Ratih menambah warna dengan kekuatan batinnya, memberikan keseimbangan di tengah konspirasi dan ketakutan masyarakat.

Cerpen “Kursi Ukir Depan Sanggar” menghadirkan kisah reflektif tentang ambisi, kejujuran, dan pembelajaran dari kesalahan. Melalui karakter Toha, seorang pemuda berbakat dalam seni ukir, AR Affandi menggali dinamika batin yang terjadi ketika ambisi mulai menggeser kejujuran.


Toha adalah kebanggaan desa karena kemampuannya mengukir dan melukis. Namun, ambisi membawanya pada keputusan yang merusak: mengklaim karya seni kursi ukir yang sebenarnya dikerjakan oleh Pak Apit, seorang pengukir senior, sebagai karyanya sendiri. Konflik ini menjadi inti cerita, ketika Pak Apit datang menuntut keadilan dan meminta Toha untuk mengakui kebenaran.

AR Affandi sukses menggambarkan bagaimana tekanan ambisi bisa mengaburkan nurani seseorang. Kepiawaiannya terlihat dari dialog antara Toha dan ibunya, Ibu Masnah, yang penuh kebijaksanaan. Ibu Masnah mewakili suara hati nurani yang mengingatkan Toha bahwa kejujuran dan integritas tidak bisa digantikan oleh ketenaran. Namun, nasihat itu diabaikan oleh Toha hingga akhirnya ia harus menghadapi konsekuensi dari tindakannya sendiri.


Cerpen ini juga menyajikan simbolisme melalui kursi ukir yang menjadi objek konflik. Di awal, kursi ini adalah simbol kebanggaan Toha yang diyakini dapat memperkuat posisinya sebagai seniman. Namun, seiring dengan terungkapnya kebenaran, kursi itu berubah menjadi simbol pengkhianatan terhadap kejujuran dan tradisi.

Kesederhanaan alur serta karakterisasi yang mendalam menjadikan cerpen ini sebagai pelajaran hidup tentang makna integritas. Melalui penyesalan Toha, cerpen ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya kejujuran dalam mencapai kedamaian batin dan penghormatan sejati dari orang lain.


Pada “Buhun”, Affandi mengeksplorasi lebih dalam kepercayaan lokal dan ritual yang telah diwariskan turun-temurun. Cerpen ini penuh dengan penghormatan pada tradisi yang menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Namun, beberapa bagian cerita terkesan repetitif, sehingga sebetulnya bisa disingkat untuk menjaga ritme tetap dinamis.

“Sri” mengangkat perjuangan emansipasi perempuan melalui tokoh utama yang terperangkap dalam norma-norma sosial. Simbolisme dan pesan feminisme kuat terasa di cerita ini, menggambarkan ketangguhan seorang perempuan dalam menghadapi keterbatasan yang dikenakan masyarakat. AR Affandi menyoroti konflik antara modernisasi dan tradisi di pedesaan Sunda.

Dalam narasi yang lirih namun tajam, Affandi menghadirkan karakter Sri, seorang perempuan yang mempertahankan nilai-nilai leluhur saat keluarganya dihadapkan pada dilema untuk menjual lahan sawah. Terletak di kaki bukit yang memisahkan dua dunia—desa tradisional dan godaan kemajuan—Sri memaknai tanah sebagai jiwa dan akar dari kehidupan. AR Affandi menyampaikan pesan moral bahwa tanah bukan hanya soal harta, melainkan identitas yang perlu dijaga untuk generasi mendatang. Dalam Sri, ia membuktikan bahwa di tengah perubahan zaman, ada nilai-nilai yang sebaiknya tetap lestari.

Cerpen lain yang menonjol adalah “Basundari Titis Sunda”, yang menggabungkan elemen sejarah dan drama keluarga. Karakter Basundari digambarkan sebagai titisan Dyah Pitaloka, yang harus menanggung beban tradisi dan menghadapi pergulatan identitas. Cerita ini memperlihatkan bagaimana masa lalu dapat terus hadir dan membentuk perjalanan hidup seseorang.

Gaya penulisan AR Affandi yang lembut namun tegas membuat tema besar ini terasa intim dan universal. Ia berhasil menonjolkan dilema Basundari melalui interaksi dengan sahabatnya, Wisaka, yang melambangkan perspektif modern dan rasional. Di sini, perbenturan antara kepercayaan kuno dan pemikiran kritis menjadi nyata, membawa Basundari pada kesadaran bahwa ia bukan hanya pewaris masa lalu, tetapi juga pemilik masa depan.

Cerpen “Ajeg Ngadeg” mengangkat kisah seorang pemuda yang teguh memegang warisan leluhurnya. Sikap tokoh dalam cerita ini mencerminkan kebanggaan akan jati diri budaya di tengah tantangan zaman.

“Ngulup” adalah cerita yang lebih filosofis dan reflektif, dengan pendekatan yang mengedepankan introspeksi. Meskipun membawa tema pencarian diri yang menarik, alur lambat mungkin akan terasa kurang menarik bagi pembaca yang lebih menyukai cerita yang aktif.
Sebagai cerita penutup, “Arus Balik” membawa nuansa kontemplatif, mencerminkan perjalanan hidup yang penuh siklus perubahan.

Penggunaan simbolisme alam memperdalam makna cerita, meski beberapa bagian mungkin terasa abstrak dan memerlukan perenungan lebih lanjut.
AR Affandi mengajak pembaca untuk memasuki dunia dystopia yang mencekam, penuh dengan ketegangan, ketakutan, dan dilema eksistensial.

Cerita ini dimulai dengan perjalanan sekelompok teman di tengah wabah “Black Dahlia,” yang telah mengubah kota Jakarta menjadi puing-puing penuh ancaman, ketakutan, dan ketidakpastian. Melalui gaya penulisan yang sinematik, Affandi menggambarkan suasana malam yang dingin dan gelap, menjadikan cerita terasa imersif dan menyeramkan.

Elemen horor dalam cerpen ini terbangun dari suasana yang penuh dengan ketegangan dan ketidakpastian. Penggambaran karakter yang harus mengganti pelat nomor mobil dalam perjalanan mereka menambah kesan paranoid dan urgensi, seolah-olah ada bahaya yang terus mengintai. Tidak hanya terjebak dalam kegelapan malam, para tokoh juga harus berhadapan dengan sosok misterius di hutan yang memberi mereka tantangan batin dan fisik.

Namun, tema utama cerpen ini tampak lebih dalam dari sekadar horor belaka. Sosok misterius yang mereka hadapi di hutan tidak hanya menjadi ancaman, tetapi juga cerminan dari ketakutan pribadi dan konflik internal para tokoh. Mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup dari ancaman fisik, tetapi juga harus menghadapi bayangan diri mereka sendiri yang penuh ketakutan dan keraguan.


Gaya bahasa AR Affandi yang kaya akan deskripsi dan narasi mencekam berhasil menggugah imajinasi pembaca, membuat mereka merasakan setiap desah ketegangan dan ketakutan yang dialami oleh karakter.

Pesan moral dari cerpen ini tersirat dalam bagaimana setiap tokoh dipaksa untuk menghadapi ketakutan dan kesalahan masa lalu mereka, menandakan bahwa kadang-kadang, musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri.


Akhir cerita yang menyisakan pertanyaan mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada para tokoh memperkuat kesan cerita ini sebagai sebuah pengalaman psikologis yang mendalam. Secara keseluruhan, “Harus Balik” adalah cerpen yang menarik bagi pembaca yang menyukai genre horor dan thriller, sekaligus menawarkan refleksi mendalam tentang ketakutan, kebersamaan, dan keberanian untuk menghadapi diri sendiri.

Secara keseluruhan, Kitab Sakral adalah kumpulan cerpen yang menggali budaya Sunda dengan nuansa mistis yang mengundang rasa ingin tahu. Kekuatan AR Affandi dalam menciptakan karakter yang kaya dan latar yang kuat menjadikan karya ini sebagai refleksi budaya yang mampu menyentuh aspek spiritualitas dan pergulatan identitas.

Beberapa cerita menonjol dengan unsur simbolik yang kuat, sementara lainnya memerlukan pengembangan alur lebih seimbang. AR Affandi berhasil membawa pembaca pada perjalanan yang penuh makna dalam menghadapi ketakutan, tradisi, dan pencarian jati diri.***

Penulis : Bambang Siswoko (Wakasek Kurikulum SMA Negeri 1 Luragung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *