Vera Verawati
Entah ini hari ke berapa, tanpa aroma api menguar dari lambung perapian. Sudah hampir seminggu hanya beberapa kali suara air didih di tungku yang nyaris linglung. Papan itu pun masih tergantung berdampingan dengan pisau yang kilau tawanya terlihat samar.
Chevron hitam lusuh berkibar ditiup angin keresahan. Rindu suara denting kuali, beradu aneka bumbu dalam pergulatan semi. Dari apur itu seperti kehilangan ruh, berulang tubuh membuka dan menghitung berapa bulir menggelinding, untuk esok meredam cuit anak-anaknya.
Tapi hanya lobang kosong dengan mimiknya melompong. Tanpa berisik kerontang memilih menaiki panggung lantas rupa beralih memerankan Zulaikha. Datar, emosi dan ekpresinya nanar, sekerjap mata berbinar mengupas lugas raut memelas, drama berkahir happy ending.
Di atas meja, Zulaikha memukul tepinya. Ketukan melahirkan nada bersajak sumbang, kaleng datar bercorak batik terbahak tanpa suara, mengerling nakal pada sendok dan garpu yang selalu romantis berdampingan.
Kaca cembung sedari tadi diam mematung, dihidunya jauh aroma kopi segar, yang biasa menggelegak tawa terbahak kini merajuk entah ke mana. Sayup kedua telinganya mendengar mantra-mantra puja, kedua mata Zulaikha sembab di pantulkan cermin yang iri atas ikhlasnya.
Meja dan kursi tidak lagi berbisik-bisik penuh tanya, lelah bergosip melebarkan kabar burung pelatuk yang bicara terkantuk-kantuk. Sedang keluarganya masih saja menari lincah tanpa gundah digubah.
“Teruslah begitu, bisik Zulaikha.”
“Peran ini harus segera diselesaikan.”
TAMAT
Pondok Kata, 18 September 2024.