Berperang Melawan Takdir

Pilihan Roman

“Jika saat ini kau sedang menentang takdir, itu tandanya kau sedang terluka parah. Tidak akan pernah sembuh, kecuali mati dan dilahirkan kembali.”

Oleh : (Ki. Pandita)

KARTINI – Kau tidak usah gelisah jika bercerita tentang hujan diawal musim. Sebab jejak kaki yang mebekas pada tanah becek dan rumput yang mulai tumbuh, merupakan kisah tersendiri yang mungkin abadi. Tidak semua bisa dikenang, separuhnya pun tidak. Hanya tentang dirinya, yang tersimpan pada lubuk hati, yang masih mungkin untuk disebut dalam sebuah mimpi.

Ros berjalan tegap, lalu duduk di kursi bagian dalam warung. Setiap pagi merupakan awal yang baru, seperti harapan. Walau pun tidak pernah ada yang baru di kolong langit ini. Dan tidak ada harapan baru, selain harapan yang kemarin yang belum terwujud. Tapi tidak boleh menyerah dan tidak ada kata menyerah.

Bunyi kipas angin kecil menggetarkan meja dan hempasan ban motor yang memburai genangan air sisa hujan subuh tadi. Warung masih sepi, hanya perempuan berjaket coklat yang singgah untuk membeli sebungkus rokok untuk dirinya sendiri. Tubuhnya kurus dengan urat-urat yang nampak tergurat pada punggung telapak tangannya.

Motor beat diparkir tidak jauh. Tas ransel hijau menggantung, sisa perjalanan yang baru saja berhenti. Sejenak, rokok dinyalakan dengan tarikan nafas berat dan dihempas perlahan dengan jemari yang napak membeku. Terus begitu sambil menatap awan yang masih meredup. Dibelinya sepuluh kilo beras dan sekilo telur, juga kecap dan dua bungkus kerupuk, satu kerdus mie instan untuk di rumah.

Sebab suaminya hanya bisa omong besar dan bergantung kepada keluarga yang katanya berpangkat dan kaya. Nyatanya hanya pecundang yang malas untuk mengerjakan apa pun. Padahal dahulu tidak begitu. Dahulu ia merupakan lelaki terbaik yang memenangkan hatinya. Sekarang, sudahlah…..

Sambil menunggu warung, Ros kembali membuka layar hp dengan senyum tertahan. Beberapa hari kemarin seorang kawan lama tiba-tiba saja menghubunginya. Seorang kawan yang sudah tiga puluh tahun tidak ada kabar cerita, terpisah karena takdir. Setiap orang memiliki jalannya sendiri, ada saat dipertemukan dan ada saat untuk menentukan arah masing-masing. Dan bila di sebuah persimpangan bertemu lagi, bukankah itu juga disebut sekenario takdir? Mencari atau dicari, bahkan diam sekali pun, takdir memiliki wewenangnya sendiri untuk menentukan arah cerita.

Seorang kawan adalah seorang kawan. Dahulu mungkin ia tidak berarti tetapi dikemudian hari menjadi sangat lekat. Ia yang dahulu seolah tidak terpisahkan, menjadi jauh bahkan hilang rimbanya. Tiba-tiba saja tergantikan oleh ia yang bahkan tidak pernah dianggap ada sebelumnya. Maka teringatlah kembali kepada masa itu, masa ketika pohon Randu tertiup angin dan bunga kapas beterbangan menempel di pundak dan rambut. Juga teringat tentang dia.

Ros mulai duduk bersandar dengan kedua kakinya lurus, sebab mulai terasa kaku dan kesemutan. Beberapa kali diperbaiki hijab yang menutupi kepalanya. Usianya hampir setengah abad, disertai rambut yang memutih di setiap bagian. Suaminya baru nanti sore bergantian jaga di warung. Kedua anaknya masih sekolah, nanti sekitar asar baru pulang. Honor dari mengajar hanya empat ratus ribu rupiah tiap bulannya.

Ros, mengambil tumbler di dalam tas yang tergeletak di lantai, lalu meregug airnya sampai habis. Segera berdiri, mengisi tumbler dari dispenser di pojok dekat pintu belakang.
Perempuan berdaster batik biru tua membeli garam dapur dan minyak goreng curah. Bulu mata palsu yang lentik, eyeshadow dan tahi lalat diatas bibir kiri. Dituntunnya serta seorang anak lelaki dua tahun bersamanya. Kaos MU merah dengan nomer punggung tujuh yang terlihat dekil dan rambutnya tidak tersisir, sepertinya anak itu belum mandi dari kemarin.

Air pam macet sudah seminggu di kontrakan. Perempuan berdaster itu tidak peduli. Bibirnya merah menyala dan semua kuku jarinya berhias dengan perawatan yang mahal. Kalung emas berbandul kunci dan gelang beberapa renceng menghias perjalanannya ke warung. Menurut rumor, cerita ibu kost gang sebelah, perempuan itu gundik seorang perwira polisi. Sebab menjadi perempuan simpanan adalah takdir terbaik, dibandingkan menjadi isteri seorang sarjana penganguran yang selalu lebih nurut apa kata orang tuanya.

Ros menghela nafas setelah menimbang terigu dan mentega. Disekanya keringat yang menempel di dahi. Ingatannya kembali liar menelusuri jejak-jejak waktu. Wajah lelaki yang dahulu pernah mengisi ruang hatinya, sekelebat kembali muncul berpapasan dengan bayangan temaram lampu. Itu cinta yang sangat berkesan dalam hidup, cinta lama yang sudah dilupakannya. Seorang kawan membawanya lagi kepada ingatan purwa tentang itu semua.

Tentang dia yang dahulu terindah. Tentang dia yang selalu membuat gelisah sampai fajar menyingsing. Tentang dia yang pernah berjanji tidak akan terpisahkan. Seperti cerita lainnya dalam episode kehidupan, seseorang lalu pergi. Padahal hati sedang terpaut begitu kuat sulit untuk dilepaskan. Nyatanya hanya air mata, karena perpisahan selalu menjadi awal dari sebuah takdir yang baru. Tentang dia yang diinginkan sebagai takdir, lalu tergantikan oleh pilihan takdir saat ini. Itulah tandanya, air mata.

Sudah lama namanya tidak disebutkan, apalagi diucapkan. Ros selalu bisa sembunyikan nama itu dari suaminya. Seperti itukah hati perempuan, bisa menyimpan nama begitu rahasia dari apa pun di bawah matahari?

“Jika takdir mengijinkanmu untuk bertemu denganya lagi, Ros, apakah kamu ingin menemuinya?” Demikian pertanyaan dari kawan lama yang mengobrol via WA.
“Tidak. Aku Tidak mau. Ada hati yang harus aku jaga saat ini.”
“Kau tidak menceritakannya pada suamimu, Ros?”
“Untuk apa? Dia sudah lama mati dalam fikiranku. Sekarang, suamikulah yang terbaik.”
“Kau tidak jujur, Ros, dengan hatimu.”
“Itu sudah tidak penting lagi. Aku hidup untuk saat ini, bukan untuk sebuah kenangan atau romantisme masa lalu.”

Ros menengadahkan kepala dan menatap sekeliling ruang warung yang begitu pengapnya. Rasa lelah dan kantuk mulai menggerogoti. Hp di meja hampir saja terjatuh saat sepasang remaja SMU menyapanya.

“Bude, bude, minuman dingin satu ya.” Sambil menyerahkan uang, pasangan remaja itu bergandengan tangan, pergi dengan Scoopy coklat susu. Dipeluknya erat, karena jalan yang berlubang tergenang air. Semakin banyak genangan, semakin tidak terpisahkan.

Ros, membuka buku catatan warung, tetapi matanya mulai kosong dan degup jantungnya tidak beraturan iramanya. Sebuah foto lawas dikirimkan padanya melalui WA. Sebuah foto profil dari akun FB. Semua suara terasa hening, bumi berhenti berputar. Itu dia. **

Untuk Bude dan dia
Awal September 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *