
Oleh : Vera Verawati
Dik
Dian ini akhirnya padam, jelaga yang tertinggal selegam luka yang mengkristal di hati kian membatu. Batin ini kehilangan suara untuk sekedar mengaduh, apalagi memekik dalam jerit kecewa. Terlalu perih hingga tak kentara belulang pun luruh tak bertenaga.
Dik
Lalu apa yang kita rangkai pada 24 purnama lebih ini. Mendengar setiap keluh kesahmu, menyediakan bahu untukmu bersandar dari penat dan lelah, merangkai berbaris puisi untuk menyampaikan rindu yang disekat dua benua.
Dik
Ini bukan tentang Isabella tapi lebih perih dari itu, tentang setia menunggu lalu ditinggal dengan gambar sepasang pengantin. Hanya karena diri ini papa, tak adil bagi diri yang walau pun sahaya, masih ada rasa yang nyata meski sederhana.
Dik
Lembayung yang kau ceritakan kemarin, warna-warninya membuatku takjim, bak wajahmu nan ayu serta teduh matamu yang tak pernah terlintas berujung penikaman oleh sembilu. Karena diamku bentuk lain dari teriakan yang bisu.
Dik
Telah aku bulatkan hati, meski untuk menghapus setiap kenangan tentangmu adalah ketidakmungkinan, tapi sisi terdalamku telah memaafkan, selamat berbahagia bersamanya. Semoga lembayung tak berakhir pergi pun tak berakhir benci seperti kisah kita.
Kuningan, 14 Maret 2023