
Oleh : Vera Verawati
Mengenang Bulan Agustus sebagai bulan uporia hampir seluruh negeri meneriakan “Merdeka”, tanpa menelaah apa makna merdeka dan kemerdekaan itu sendiri. Baik secara perseorangan maupun kelompok. Disaat makin meningkatnya angka pengangguran dan bertambahnya jumlah pengemis dan orang terlantar.
Tidak lagi terlihat makam-makam pahlawan dikunjungi meski setahun sekali, apalagi mempertanyakan hingga menjenguk para keluarga veteran yang pasca tiadanya orang hebat tanpa seragam yang telah mengabdi sepenuh hati bagi negeri, terbujur di bawah nisan.
Berebut pamerkan panggung dan kekuasaan, berasa mual perut melihat seporadiknya penyalahgunaan jabatan. Taring itu kian mencuat, sudah tidak lagi malu-malu ketidakadilan difilmkan dalam skecario kolosal. Korupsi dan kolusi nyata makin tersistem.
Boneka-boneka politik, duduk manis di ruang beraroma samar. Antara kepulan tembakau dan desah wanita-wanita berwajah plastik. Meliuk diantara kursi bertuliskan megaproyek. Sedang garis-garis penghubung kehidupan orang-orang jelata dibiarkan mangkrak digantung papan bertuliskan “Tidak Ada Anggaran Untuk Jalan Rusak”.
Perempuan biasa itu berdiri mematung, memandangi bendera merah putih yang terikat diteralis besi. Warnanya usang dimakan idealisme. Tapi kobaran semangatnya terus menyala, walau suara perut kadang memaksanya bungkam dalam ketidakberdayaan.
Pondok Kata, Agustus 2024