KARTINI – Masih mengupas seputar gender dan queer, Prof. DR. Musdah Mulia, M.A., mengupasnya dari sudut agama, dan ilmu pengetahuan. Alqur’an sendiri tidak menyebutkan perintah untuk mendiskriminasikan, termasuk kaum homo apalagi membunuhnya.
Dipaparkan Prof. Musdah, hanya Alloh yang Maha tahu siapa dari umat manusia yang akan menerima azab-Nya dan siapa yang akan mendapatkan rahmat dan karunia-Nya (al-ankabut, 29 : 21). “Karena itu, manusia, apapun orientasi seksualnya, hanya dapat berfastabiqul khairat, berlomba berbuat kebajikan seoptimal mungkin,” katanya.
Salah satu bentuk kebajikan itu adalah mengedepankan perilaku seksual yang tidak mengandung unsur kekerasan dan pemaksaan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman atau bahkan tersiksa. Istilah dalam khazanah fikih (literatur fikih), tidak ditemukan istilah gay dan lesbi, tapi yang paling populer adalah istilah khunsa‘ (waria atau banci). Waria atau banci tersebut tidak merujuk sama sekali pada orientasi seksual manusia.
Kalau yang dikutuk dalam fikih adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi, maka itu tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual seseorang. Sebab, sodomi tidak hanya dilakukan oleh kelompok homoseksual, melainkan juga dilakukan oleh kelompok heteroseksual. “Saya pernah mendampingi seorang isteri menggugat cerai suaminya, karena tidak tahan disodomi oleh suaminya. Faktanya juga, tidak sedikit laki-laki heteroseksual yang senang melakukan sodomi, bahkan juga senang disodomi. Ditemukan pula perempuan heteroseksual yang senang disodomi,” paparnya.
Dalam konteks kisah Luth, Al-Qur’an dan Hadits menyebut beberapa istilah, seperti al-fahisyah, al-sayyiat, al-khabaits dan al-munkar. Empat jenis kejahatan yang disebutkan dalam Al-Qur’an itu bersifat umum, bukan hanya dilakukan oleh kelompok homo, melainkan juga oleh kelompok hetero, biseks dan aseksual.
Berdasarkan fakta yang ada, maka fikih sebetulnya hanya mengutuk perilaku sodomi, baik dilakukan oleh manusia yang memiliki orientasi seksual hetero maupun homo. Imam Al-Auza’i dan Abu Yusuf bahkan menyamakan hukuman sodomi dengan zina.
Penjelasan singkat diatas tersebut menggambarkan bahwa homoseksual sesungguhnya bukanlah “liwath” atau “luthi“. Kedua istilah itu merujuk pada relasi seksual yang pernah dilakukan kaum Nabi Luth (man ‘amila ‘amala qawm Luth). Imam Al-Thabari menyebut kaum Nabi Luth sebagai Sodom, masyarakat yang berperilaku sodomi.
Islam Menghendaki Kedamaian
Dengan ungkapan lain, semua manusia tanpa membedakan bentuk orientasi seksualnya, termasuk kelompok heteroseksual, sangat mungkin dan bisa terlibat dalam berbagai bentuk kejahatan seksual (sex crimes), yang diistilahkan dalam empat ungkapan Al-Qur’an tersebut.
Berbagai uraian diatas menyimpulkan, Islam adalah agama yang paling depan bicara tentang pemenuhan hak-hak asasi setiap manusia, tanpa kecuali sedikitpun. Diantara hak-hak asasi manusia, yang wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi tersebut adalah hak-hak seksual manusia.
“Perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak seksual manusia harus dilakukan tanpa diskriminasi sedikitpun, khususnya diskriminasi berdasarkan orientasi seksual mereka. Sebaliknya, Islam juga sangat vokal menyuarakan ancaman bagi semua manusia, apapun orientasi seksualnya (homo, hetero, bisek, dan aseksual, jika mereka mempraktikan perilaku seksual yang tidak manusiawi,” kupas perempuan pertama yang dikukuhkan LIPI sebagai Profesor Bidang Lektur Keagamaan di Kementrian Agama (1999) itu.
Lalu siapa mereka yang mempraktikan perilaku seksual yang tidak manusia tersebut?, yaitu mereka yang melakukan hubungan seksual yang didalamnya mengandung unsur kekejian, kekerasan, penyiksaan, pemerasan, penularan penyakit dan seterusnya sehingga menimbulkan cedera, kesakitan, kematian bagi orang lain.
Islam, sesuai dengan akar katanya “Salima”, tambah Prof.Musdah, menghendaki kedamaian, dan keselamatan hakiki bagi semua manusia, agar dapat hidup tentram dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kedamaian itu harus dibangun mulai dari mewujudkan relasi seksual yang aman, nyaman, dan bertanggung jawab serte penuh penghormatan kepada manusia dan kemanusiaan.
Dalam perbincangan penutupnya, Prof. Musdah yang sudah banyak menerbitkan karya tulis berpesan, kesadaran untuk tidak melakukan stigma, diskriminasi, dan kekerasan terhadap sesama manusia dengan alasan apapun adalah pesan utama kenabian, dan menjadi esensi ajaran semua agama. Kesadaran itu tidak muncul begitu saja, melainkan harus ditumbuhkan, dan dibangun melalui pendidikan formal di sekolah, pendidikan non formal di masyarakat, dan pendidikan dalam keluarga. (kh)***
Selesai !
Liputan dan produksi ini menjadi bagian dari liputan kolaborasi #AgamaUntukSemua bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan Koalisi #RawatHakDasarKita dan Embassy of Canada to Indonesia, in Jakarta.