
Oleh : Vera Verawati
Derap kaki dalam barisan segera menggema. Wajah merah putih melambai diketinggian langit bumi pertiwi. Entah apa yang salah, warna keberanian dan putihnya kepedulian tak begitu tercermin lagi pada bait-bait lagu kebangsaan.
Atas nama darah nasionalisme, bayi-bayi tanpa asuhan orang tua bergentayangan di antara jutaan populasi yang terus membludak. Begitu juga gunungan sampah yang dilarung seperti jenazah orang suci di laut merah.
Tubuh-tubuh kerdil terhambat pertumbuhan, asupan nutrisi bercampur racun transisi digital. Konsumsi tidak lagi padi yang berasal dari lengan gagah para petani, melainkan bulir putih yang benar-benar putih oleh pemutih lantas ditumbuk oleh berjuta kalimat lelembut. Â
Celingak-celinguk kepala garuda, sayapnya bergetar oleh lunglai merebaknya kerusakan generasi muda, kehancuran moral, ketidakmanusiaan yang dibanggakan. Betapa ingin kedua kakinya mencengkram menghancurkan jutaan pengangguran.
Sedang ekornya mengibas paparkan kehijauan hutan yang tersisa. Andai saja dalam bahasa garangnya garuda boleh berteriak.
“Wahai negeriku, yang konon makmur, gemah ripah loh jinawi. Mengapa masih kudengar rengek lapar, dari bayi-bayi yang dijual tangisnya oleh ibunya sendiri. Anak-anak muda tak lagi bertubuh kuat bertulang baja, lembek daging lunak oleh judi dan game yang dilegalkan.â€
Terisak burung raksasa pembawa lambang Bhineka Tunggal Ika. Diciumnya Sang Merah Putih dengan air mata pilu.
“Inikah negeriku, sedang laut dan sawah serta hutan berakar emas, batu bara, miyak, gas bumi dan masih banyak lagi berlian khatulistiwa. Tapi gedung-gedung itu menyumbatnya oleh hutang yang diatasnamakan bantuan kesejahteraan.â€
Untuk Indonesiaku, bisakah kita kembali pada falsapah gotong royong seperti nenek moyang kita dulu. Lantas bertaut tangan saling mempedulikan. Agar tak ada lagi cerita pendek yang tercermin dalam sebuah film berjudul kemiskinan dan pembodohan.
Pondok Kata, 14 Agustus 2024