KARTINI – Oleh Vera Verawati
Kota dengan kaki-kakinya berdiri meringkik, beberapa bangku seperti menunggu. Sepasang anak manusia yang sedang berjalan dengan wajah secerah awan-awan di musim semi. Menghitung debar hingga tiba di titik nol, titik dimana orang-orang memperebutkan koordinatnya.
Tubuh gelap itu tak mampu ditenggelamkan, di antara keramaian kepala-kepala dan basah keringat para pemimpi. Bahkan nyeri yang tadi malam diceritakan lewat hujan pun tetiba sirna didera seulas senyum sederhana.
Lantas, kedua tangannya seperti gemas ingin menggengam, tapi bola-bola bernetra itu menggelinding seolah mengawasi. Bibir-bibir tak dikenal itu menggurat tawa, bukan sebuah cibiran melainkan kebahagiaan yang turut dirasakan.
Amboi, andai saja langit bisa berkompromi, menjadi gelap dan menyalakan bintang-bintang. Seolah mendadak menjadi malam yang romantis. Tapi, nyatanya matahari terbahak-bahak menertawakan kecanggungan usia matang.
Tidak sedang mengolok-olok waktu, keduanya seperti dua anak remaja yang kehilangan selembar surat cinta, dan mencari-carinya pada jalan-jalan yang pernah dilewati. Berharap mungkin tersangkut di antara sayuran yang mengering di pasar tua.
“Pernah satu waktu,” katamu menerawang
Menceritakan masa di mana tidak ada kepura-puraan, semua tentang putih yang benar-benar putih. Tidak seperti sekarang yang dipenuhi bercak, walau dengan kedua tangannya, bercak itu mampu menjadi deskripsi warna-warni.
Di antara senda gurau, ada sebuah pengharapan tak terucap. Hanya tersibak dari sepasang keteduhan pandangan. Tanpa bermaksud menentang, sungguh gemuruh itu harus segera diredam. Jangan biarkan semua kekuatan itu luluh lantak.
Tidak sedang berdialog dengan tiang-tiang yang memajang wajah-wajah asing, dan mulai teriak nyaring seolah paling, kemudian hari berpaling terguling. Mari kita pulang, Tuan. Kembali ke kotak-kotak pesawahan, menikmati aroma udara dan air yang selalu jujur. (Jl. Siliwangi, 15052024)
